
Pendahuluan: Mengapa Nama Ini “Meledak” di 2025
Beritagenz.com – Nama Zohran Kwame Mamdani tiba-tiba mendominasi linimasa internasional setelah ia menumbangkan mantan Gubernur Andrew Cuomo dalam pemilihan pendahuluan (primary) Partai Demokrat untuk Wali Kota New York City. Hanya dalam semalam, assemblyman berusia 33 tahun itu berubah status dari “kuda hitam” menjadi ikon politik progresif yang dianggap mampu memimpin kota terbesar di Amerika Serikat. Kemenangan ini bukan saja historis—karena ia berpotensi menjadi Muslim pertama yang memimpin NYC—tetapi juga menggambarkan pergeseran selera politik pemilih muda yang menuntut agenda keadilan sosial lebih radikal. (axios.com, theguardian.com)
Profil Singkat: Akar Diaspora dan Identitas Syiah
Lahir di Kampala, Uganda, pada 18 Oktober 1991, Zohran Mamdani adalah putra pasangan ilmuwan politik ternama Mahmood Mamdani (keturunan Gujarati-Syiah) dan sutradara film internasional Mira Nair. Pada usia tujuh tahun ia pindah ke New York dan menempuh pendidikan di Bronx High School of Science, lalu Bowdoin College. Di sana ia ikut mendirikan Students for Justice in Palestine—cikal bakal aktivismenya hari ini. Zohran secara terbuka memeluk Islam mazhab Syiah Dua Belas Imam (Twelver Shia) dan sering menafsirkan keyakinannya sebagai dorongan moral untuk memperjuangkan hak kaum tertindas. (en.wikipedia.org, arcmag.org)
Rekam Jejak Politik: Dari Astoria Menuju Balai Kota
Setelah menyingkirkan petahana empat periode untuk kursi Majelis Negara Bagian New York (District 36) pada 2020, Zohran fokus pada isu perumahan, transportasi gratis, dan energi terbarukan. Rekam jejak inilah—ditambah afiliasi dengan Democratic Socialists of America—yang memperkuat citranya sebagai “wakil rakyat kelas pekerja”. Pendekatan “door-to-door” serta rapat umum di halte bus atau laundromat menjadikannya figur dekat dengan konstituen muda, pekerja migran, dan penyewa apartemen. (axios.com)
Strategi Kampanye 2025: Grassroots + Platform Populis
Platform kampanyenya mencakup:
- Pembekuan sewa (rent freeze) tiga tahun.
- Angkutan bus gratis yang dibiayai pajak progresif.
- Toko bahan pokok milik kota untuk menekan harga pangan.
- Universal childcare demi produktivitas keluarga muda.
- Pajak korporasi & super-rich sebesar US$10 miliar per tahun.
Kombinasi program nyata dan retorika “kota untuk semua” menarik elektorat Gen Z yang lelah dengan jargon politisi lama. (axios.com)
Kemenangan Melawan Cuomo: Data dan Momen Bersejarah
Dengan 90 % suara dihitung, Zohran mengantongi ~44 % suara—unggul delapan poin dari Cuomo. Sang mantan gubernur akhirnya angkat telepon untuk mengucapkan selamat. Para pendukung memenuhi media sosial dengan ungkapan “sejarah baru” karena New York berpotensi dipimpin Muslim imigran keturunan Asia Selatan dan Afrika. (axios.com, theguardian.com)
Arti Penting bagi Politik Progresif AS
Kemenangan ini menegaskan realitas demografis urban: pemilih muda, multikultural, dan berorientasi progresif mulai mendominasi. Zohran diposisikan sebagai penerus gelombang “Squad” (Ilhan Omar, AOC, dsb.) yang mendobrak kepemimpinan Partai Demokrat arus utama. Dengan kata lain, Islam, sosialisme demokratik, dan identitas imigran kini bukan penghalang elektoral—bahkan bisa menjadi keunggulan kompetitif di kota kosmopolitan. (arcmag.org)
Agama sebagai Sumber Narasi dan Serangan
Sebagai Muslim Syiah, Zohran tak hanya menghadapi tantangan elektoral tetapi juga serangan Islamofobia: mulai dari mailer kampanye dengan foto janggutnya “dipanjangkan” untuk menimbulkan kesan radikal, hingga salah sebut nama secara konsisten di debat publik—sebuah micro-aggression yang mengirim pesan “kamu orang luar.” Ia menjawab dengan menekankan nilai-nilai keadilan sosial dalam Islam yang selaras dengan kebijakan publik progresif. (arcmag.org)
Gelombang Islamofobia dan Krisis Gaza
Konteks global turut memperkeras serangan identitas. Di tengah perang Israel–Hamas yang kembali memanas sejak 2024, politisi pro-Israel dan media konservatif menuding Zohran “anti-Israel”. Times of Israel bahkan menyebutnya “anti-Israel” usai ia menyerukan gencatan senjata kemanusiaan. Namun, di sisi lain, ketegangan ini justru memperluas dukungan komunitas Muslim lintas mazhab—Sunni maupun Syiah—yang melihat Zohran sebagai simbol persatuan menghadapi stereotip “Muslim berbahaya”. (timesofisrael.com, arcmag.org)
Solidaritas Lintas Iman & Generasi
Uniknya, kampanye Zohran juga memobilisasi kelompok Yahudi progresif (Jewish Voice for Peace), komunitas Kristen kulit hitam, hingga jaringan aktivis iklim. Aliansi multifaith ini menunjukkan bahwa politik identitas negatif dapat dikalahkan oleh visi kebijakan inklusif. Hal ini selaras dengan tren Gen Z yang lebih cair dalam beragama tetapi tegas soal keadilan sosial dan lingkungan. (arcmag.org)
Dampak Potensial untuk New York City
Jika menang November nanti, New York akan mencatat beberapa “pertama”: wali kota Muslim, Syiah, Afrika-Asia Selatan, dan sosialis demokratik. Kebijakan transportasi gratis dan toko grosir kota bisa menjadi studi kasus global tentang inovasi layanan publik urban. Secara ekonomi, pakar memperkirakan pajak progresif baru menambah sekitar 2 % pendapatan tahunan kota—cukup menutup biaya program andalan tanpa menambah defisit. (axios.com)
Pelajaran bagi Pemuda Indonesia & BeritaGenZ
Bagi pembaca BeritaGenZ.com, kisah Zohran mengajarkan tiga poin:
- Representasi Minoritas Penting — Imigran Muslim mampu memimpin kota dunia ketika memiliki visi jelas dan basis massa terorganisasi.
- Gerakan Akar Rumput Lebih Kuat dari Dana Besar — Zohran mengalahkan Cuomo meski dana lawan 7× lipat.
- Identitas Bisa Jadi Kelebihan — Saat dikelola sebagai narasi keadilan, identitas agama atau etnis justru memperluas koalisi.
Kesimpulan
Zohran Mamdani bukan sekadar fenomena politik Amerika; ia gambaran baru tentang bagaimana generasi muda global termasuk di Indonesia memaknai kepemimpinan: inklusif, progresif, dan berakar pada pengalaman minoritas. Terlepas dari hasil pemilihan umum 4 November 2025, Zohran telah menggeser batas imajinasi bahwa seorang Muslim Syiah imigran bisa memimpin kota terpenting di dunia. Kisah ini pantas diikuti terus, karena keberhasilannya berpotensi menjadi cetak biru bagi kota multikultural lain dalam merangkul keragaman dan menantang status quo.