June 27, 2025

self diagnosis

Fenomena Self-Diagnosis di Kalangan Gen Z

Beritagenz.com – Kamu pernah bilang “kayaknya gue punya anxiety deh”? Atau setelah nonton satu konten TikTok tentang ADHD kamu langsung merasa punya gejala yang sama?

Fenomena ini makin umum di era digital. Banyak anak muda, terutama Gen Z, mulai lebih sadar tentang istilah psikologis. Tapi sayangnya, kesadaran ini tidak selalu diiringi dengan pemahaman yang benar. Akibatnya, muncullah self-diagnosis yang berujung ke arah yang keliru.

Apa Itu Self Diagnosis?

Self-diagnosis adalah ketika seseorang mencoba menganalisis dan menyimpulkan sendiri kondisi kesehatannya (baik fisik maupun mental) tanpa bantuan profesional. Meskipun niatnya ingin memahami diri sendiri, dalam konteks mental health, ini bisa jadi bumerang.

Internet memang penuh dengan informasi. Tapi banyak dari konten mental health yang viral di TikTok, Twitter, hingga Instagram, seringkali terlalu general, bahkan kadang salah interpretasi.

Kenapa Bahaya?

  1. Gejala Bisa Sama, Penyebabnya Bisa Beda
    Misalnya kamu merasa cemas berlebihan. Bisa saja itu anxiety disorder, tapi bisa juga efek dari kurang tidur, stres sekolah, atau bahkan konsumsi kafein berlebih. Tanpa asesmen dari tenaga profesional, kita gak bisa tahu secara pasti.
  2. Terlalu Fokus ke Label, Lupa Proses Sembuh
    Banyak orang jadi terobsesi dengan label: “Gue ADHD”, “Gue Bipolar”. Tapi setelah itu, mereka gak melanjutkan ke langkah berikutnya: apa yang harus dilakukan? Diagnosis bukan tujuan akhir. Itu baru awal dari proses penyembuhan.
  3. Bisa Jadi Alat Pembenaran Diri
    Kadang, label diagnosis dijadikan alasan untuk tetap stuck di perilaku buruk. Contohnya: “Gue emang gampang marah, soalnya gue bipolar,” padahal belum tentu benar.
  4. Menunda Bantuan yang Sebenarnya Dibutuhkan
    Banyak yang merasa cukup setelah nonton video penjelasan atau baca thread. Akibatnya, mereka gak pernah benar-benar konsultasi ke psikolog, padahal kondisi mereka bisa jadi lebih serius.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Gunakan Internet untuk Edukasi, Bukan Diagnosa
    Konten mental health bisa sangat membantu, tapi harus tetap disaring. Gunakan sebagai bahan pemahaman awal, bukan kesimpulan akhir.
  2. Perhatikan Pola, Bukan Sekali Dua Kali Gejala
    Cemas sesekali, susah fokus, atau gak mood bukan berarti kamu langsung punya disorder. Perhatikan apakah itu pola yang konsisten dan signifikan mengganggu aktivitas harian.
  3. Ceritakan ke Orang yang Bisa Dipercaya
    Teman, keluarga, atau komunitas yang peduli bisa bantu kamu untuk mencari solusi bersama.
  4. Pertimbangkan Konsultasi Profesional
    Sekarang udah banyak layanan psikolog online yang harganya lebih terjangkau. Ini langkah yang jauh lebih aman dan akurat dibanding diagnosis sendiri.

Pentingnya Validasi Emosi, Tapi Jangan Terjebak

Merasa lelah, sedih, atau kehilangan semangat adalah hal yang wajar. Tapi penting untuk membedakan antara gangguan mental yang nyata dan emosi manusia yang umum.

Memvalidasi emosi itu penting. Tapi jangan sampai kamu terjebak dalam label yang salah, apalagi membentuk identitas berdasarkan self-diagnosis yang belum tentu tepat.

Kesimpulan

Self-diagnosis bisa jadi langkah awal untuk mengenal diri, tapi bukan solusi akhir. Jangan jadikan konten internet sebagai pengganti bantuan profesional. Ketika kamu merasa butuh pertolongan, jangan ragu untuk cari dukungan dari orang yang tepat. Kesehatan mental itu penting, dan kamu layak untuk sembuh dengan cara yang benar.

Referensi :

https://en.wikipedia.org/wiki/Self-diagnosis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *